Akad Nikahnya Orang Bisu

Akad Nikahnya Orang Bisu

Dasar pernikahan

Dasar syariat pernikahan adalah al qur’an, sunnah, dan kesepakatan ummat, dasar nikah dalam Q.S Surat al-Nur’[24]:32  yaitu :

وَانْكِحُوْا الْاَيَّامَى مِنْكُمْ وَالْصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَائِكُمْ.

Artinya :

dan nikahilah orang – orang yang membujang diantara kamu, dan orang orang yang pantas (menikah) dari hamba sahayamu yang laki – laki dan perempuan” ( Q.S An Nur Ayat 32 )

Dasar dari hadisnya sebagai berikut :

تَنَاكَحُوْا تَكْثُرُوْ فًاِنّى اُبَاهِى بِكُمْ الْاُمَم

Artinya :

Nikahlah kalian semua dan banyakkan keturunan karna aku bangga dengan banyaknya umat”.( H.R Ahmad )

Pengertian nikah

Nikah secara etimologi adalah berkumpul dan secara terminologi adalah akad yang memuat diperbolehkannya melakukan hubungan suami istri, baik itu dengan mengumpulinya, mencium, dan sebagainya dengan syarat wanita yang dinikahi adalah wanita yang bukan mahrom.

Dari pengertian nikah diatas bahwa nikah itu suatu akad yang dapat menyelamatkan dari perzinaan, karna dengan adanya nikah maka wanita yang dinikahi halal baginya dan bahkan bisa mendapat pahala saat hubungan suami istri.

Syarat sah pernikahan sebagai berikut :

  1. Syarat bagi calon laki – laki.
  • Tidak sedah ihram.
  • Tidak terpaksa.
  • Calon laki – laki tertentu.
  • Calon laki – laki mengetahi calon istrinya.
  • Jelas bahwa calonnya adalah laki – laki
  • Tidak adanya hubungan darah.
  1. Syarat bagi calon perempuan
  • Tidak sedang ihram.
  • Calon perempuan
  • Tidak dalam masa iddah.
  • Jelas bahwa calonnya adalah perempuan.

Dalam Undang – Undang pasal 6 no. 1 tahun 1974 menegasakah bahwa batas minimal pernikahan untuk calon laki – laki adalah 19 tahun, namun jika ada yang belum berumur 19 tahun dan ingin melakukan pernikahan maka harus membuat surat dispensasi umur kepengadilan.

Rukun pernikahan

Rukun dalam pernikahan tak kalah penting juga, karja rukun juga sesuatu yang harus dipenuhi dan jika tidak dipenuhi maka pernikahan tidak dianggap sah, rukun – rukun dalam pernikahan sebagai berikut :

  1. Adanya calon laki – laki dan perempuan.
  2. Adanya wali.
  3. Adanya saksi.
  4. Adanya sighot (ijab dan qobul).
Batalnya pernikahan

Dalam Undang – Undang no. 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa yang dapat menjadikan pernikahan tidak sah adalah tidak terpenuhinya sarat dan rukun, dalam sisi lain pernikahan dapat dibatalkan oleh sang suami yang disebut dengan talak atau bagi sang istri yang menggugat cerai kepengadilan, dan pejabat yang ditunjuk.

Pendapat madzab syafi’i tentang akad nikahnya orang tunawicara

Dalam pernikahan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar nikah dianggap sah oleh syariat, salah satu rukun yang harus dipenuhi adalah shigot atau disebut dengan ijab dan qobul.

Ijab dan qobul itu harus dilakukan atau harus disebut bagi calon laki – laki, namun hal ini bisa dilakukan bagi orang yang normal, artinya orang yang tunawicara tidak bisa mengucapkannya, untuk solusinya ternyata dalam madzab syafi’i sendiri masih ada perinciannya sebagai berikut :

  1. Jika mampu untuk ditulis, maka pernikahan dianggap sah, hal ini telah disepakati oleh madzab syafi’i karna dianggap dhorurot, namun perlu diperhatikan jika masih mampu untuk menulis, maka tidak boleh menggunakan isyarat karna tulisan ini lebih sorih atau jelas dari pada dengan isyarat, dan lebih menjauhkan dari ketidak jelasan maksud.
  2. Jika tidak mampu untuk menulis maka dengan isyarat yang dapat dipahami dan hal ini juga disepakati ulama, karna dengan isyarat dapat mengungkapkan maksut.

Namun dalam perincian diatas masih ada ulama yang menentang mengatakan bahwa akad nikahnya tunawicara dengan tulisan dan isyarat yang sulit dipahami oleh orang biasa termasuk kinayah, dikarenakan dalam bab talak tulisan talak orang yang tunawicara dianggap kinayah, padahal pernikahan lebih berat hukumnya dari pada talak, hal itu dijawab oleh ulama, selama tidak ada isyarat yang memahamkan, maka dengan tulisan dan isyarat yang sulit dipahami oleh orang biasa dianggap sah, meskipun dalam bab talak tulisan tunawicara dianggap kinayah, pendapat ini dikuatkan dalam kitab bujairomi bahwa tulisan dan isyarat yang sulit dipahami, itu pengecualian dari tulisan yang dianggap kinayah, artinya sah akad nikahnya orang tunawicara dengan tulisan dan isyarat yang sulit dipahami oleh orang biasa.

Isyaratnya orang yang tunawicara itu tidak hanya berlaku pada masalah akad nikah saja tapi berlaku pada semua permasalahan khususnya dalam muamalah, talak, sumpah lian dan masih banyak lagi, hal itu semua bisa sah jika isyaratnya memahamkan.

Dari perincian diatas bisa dimengerti bahwa akad nikahnya orang yang tunawicara masih bisa sah, dengan cara yang telah diberikan oleh ulama madzab syafi’i dengan tulisan atau isyarat yang memahamkan.

Kesimpulan

Pernikahan merupakan suatu anjuran dalam agama islam, dengan adanya pernikahan maka hal – hal yang sebelumnya haram menjadi halal dan hikmah dari adanya pernikahan banyak salah satunya untuk menghindari perzinaan yang kosekwensi hukumnya sangat besar, dalam pernikana tidak akan terlepas dari ijab dan qobul yang harus dilakukan, namun tidak semua calon laki – laki bisa mengucapkannya contohnya calon laki – lakinya tunawicara.

Agama islam selalu tidak mempersulit persoalan ummat, contohnya dalam menanggapi kasus pernikahan yang seharusnya sangat diperhatikan, jika ada sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti ijab dan qobulnya orang tunawicara, maka agama islam sudah memberikan solusi bagi orang yang tunawicara saat ijab dan qobul dengan perantara tulisan dan isyarat yang memahamkan, hal ini telah dipaparkan oleh ulama madzab syafi’i sehingga menjadi solusi yang tepat bagi orang yang tunawicara.

Penulis konten telah berpengalaman dalam bidang ilmu agama islam dan telah kuliah di fakultas syari’ah progam studi hukum islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Anda mungkin suka juga :