Hukum Perempuan Menjadi Penghulu

Hukum Perempuan Menjadi Penghulu

Ulama ahli fikih mereka berpendapat bahwa seorang penguasa dia berhak menikahkan seseorang sebagai ganti dari walinya jika orang tersebut tidak memiliki wali atau walinya tidak bisa hadir dalam majlis akad. Bahkan para ulama ahli fikih juga berpendapat bahwa penguasa adalah walinya seseorang yang tidak memiliki wali.

Sebagaimana yang telah diketahui, seorang penghulu adalah seseorang yang telah diberi izin oleh penguasa baik oleh pemerintah maupun pengadilan agama untuk melaksanakan tugasnya sebagai benghulu. Tugas seorang penghulu tidak hanya sebatas pada pencatatan akad nikah saja, namjun penghulu kerap kali sebagai wali.

Ulama Mazhab Hanafi seorang perempuan diperbolehkan menjadi wali bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Penetapan hukum penghulu termasuk dalam masalah ahwal syakhshiyah (hukum perdata keluarga) didasarkan pada pendapat terkuat dalam Ulama Mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Hanafi menetapkan bahwa seorang perempuan yang telah dewasa dia boleh menikahkan dirinya sendiri, bahkan menikahkan orang lain atau mewakilkan kepada orang lain dalam pernikahannya, hal itu dikarenakan akad nikah merupakan hak penuh dirinya. Sehingga menurut Ulama Madzab Hanafi, seorang perempuan dia memiliki hak untuk melaksanakan akad nikahnya sendiri, sebagaimana dia mempunyai hak untuk melaksanakan akad jual beli dan akad-akad yang lain.

Pendapat tersebut berdasarkan pada beberapa ayat dalam al – Quran yang menisbatkan perbuatan menikah pada kaum perempuan, sehingga hal itu menjadi dalil sahnya akad yang mereka lakukan. Allah SWT berfirman :

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (al – Baqarah [2]: 234).

Dan firman-Nya :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوْا۟ بَيْنَهُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

    “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”. (Al-Baqarah [2]: 232).

Firman-Nya juga :

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

    “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 230).

Nabi SAW. juga bersabda :

اَلْأَيْمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

    ” Seorang Janda dia lebih berhak atas dirinya dari walinya.”

Diriwayatkan dari Imam Bukhari bawah Khansa` binti Khidzam dinikahkan oleh ayahnya secara terpaksa lalu Nabi saw. menolak pernikahan itu.

Diriwayatkan juga bahwa ada seorang perempuan yang menikahkan anak perempuannya dan anak perempuannya itu sendiri menerimanya. Namun para walinya tidak setuju atas pernikahan itu sehingga mereka melaporkannya kepada Sayyidina Ali r.a Maka Sayyidina Ali pun menetapkan keabsahan pernikahan itu.

Oleh karena itu, selama dalam ranah fikih kaum perempuan memiliki hak tersebut baik atas diri mereka sendiri atau atas orang lain, maka dibolehkan bagi seorang hakim untuk memberinya izin melaksanakan akad nikah sebagai seorang wali jika hal itu diperlukan.

Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa jika seorang penguasa hendak menetapkan peraturan atau undang – undang yang sesuai dengan hukum syariat islam dalam masalah di atas, hendaknya dia memperhatikan situasi dan kondisi yang ada di masyarakat dan mempertimbangkan dampak maslahat dan mudarat yang akan diakibatkan.

Sumber : Fatwa Dar Ifta

Penulis konten telah berpengalaman dalam bidang ilmu agama islam dan telah kuliah di fakultas syari’ah progam studi hukum islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Anda mungkin suka juga :